Liputan BMI-- Bagai burung didalam sangkar, Sungguh nasibmu malang benar, tak seorangpun ambil tahu duka dan lara dihatimu, wahai kau burung dalam sangkar, dapatkah kau menahan siksa dari kekejaman dunia yang tak tahu menimbang rasa, sepenggal bait lagu dari Emillia Contessa, itulah yang mungkin menggambarkan keberadaan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Arab Saudi. Mereka bertahun-tahun terkeram dalam tembok tinggi istana suku Badui.
Rasa rindu bertahun-tahun ia pendam demi sebuah cita-cita, pilu dan tangis ia simpan demi menggapai asa, namun lara tak kunjung reda karena sang majikan durjana tak mau memulangkan mereka. Pada siapa mereka harus mengadu, pemerintah yang selama ini diharapkan sebagai pelindung, seolah menutup mata dan mermehkan kasus seperti ini.
Hari sabtu kemarin (8/11) Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri dengan bangga mengeluarkan statement di media sosial bahwa dirinya akan memperbaiki dan meningkatkan kualitas para Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Hanif juga mengatakan akan mencontoh Filipina tentang pengelolaan tenaga kerja yang akan meningkatkan daya saing para tenaga kerja itu sendiri.
Namun sayang, pernyataan Menteri Tenaga Kerja yang baru dilantik itu kurang menyentuh esensi problematika yang terjadi di Arab Saudi. Pemerintah hanya memikirkan peningkatan dan kualitas dari segi pekerja, namun tidak menyentuh substansi dari perlindungan itu sendiri.
Perwakilan Pemerintah yang ada di Arab Saudi seolah membentur cadas jika sudah berhadapan warga Pribumi, mereka hanya menerima aduan dari TKI dan hanya berucap sabar,sabar dan sabar. KBRI/KJRI hanya bisa bekerja sesuai PROTAP ( Prosedur Tetap ) yaitu dengan menerima aduan, melaporkan ke atasan dan menasehati pelapor untuk bersabar. tetapi tidak melakukan terobosan untuk menyelamatkan anak bangsa yang bertahun-tahun terkurung dan tertindas.
Seperti halnya kasus Iroh binti Nenjin, TKW asal Karawang, Jawa Barat yang selama sembilan tahun bekerja di daerah Damman, Riyadh, tidak sepeserpun merima gajih dan tidak dipulangkan. Kasus Iroh binti Nenjin sudah dilaporkan ke KBRI Riyadh pada bulan januari 2014 lalu, namun ketika setiap minggu dan bulan ditanyakan perkembangan penangananya, KBRI hanya menjawab sudah mengirim surat ke Imigrasi Saudi dan melaporkan ke atasanya yaitu KEMENLU ( Kementrian Luar Negeri ). Sunnguh Ironis, sampai saat ini kasus Iroh binti Nenjin sudah hampir setahun ditangani KBRI tak mebuahkan hasil.
Muhammad Roland salah satu pengamat sosial di Jeddah, sangat menyayangkan kinerja KBRI/KJRI yang pasif dalam menagani masalah klasik perlindungan TKI di Arab Saudi dalam menghadapi kultural warga pribumi.
"seharusnya KBRI/KJRI membentuk tim khusus unit reaksi cepat yang sudak terkoordinasi dengan pihak otoritas keamanan Arab Saudi, sehingga ketika ada laporan TKI yang tidak dibayar gajih/tidak dipulangkan atau dianiaya, staf KBRI/KJRI bisa mendatangi rumah majikan dan memberikan advokasi, " kata Roland kepada Liputan BMI via seluler (10/11)..
Masih kata Roland, jika pemerintah Indonesia ingin meniru Pemerintah Filipina, jangan hanya mencontoh pengelolaan dan perekrutan tenaga kerja saja, tapi harus melihat bagaimana kekuatan diplomat-diplomat Filipina yang handal dalam bernegosiasi dan melobi otoritas Arab Saudi, sehingga mereka sukses melindungi warganya.
"Saya rasa Pak Hanif selaku Menteri Tenaga Kerja kurang memahami permasalahan yang sedemikian kompleks yang ada di Arab Saudi, saya harap beliau datang ke Arab Saudi untuk melaukan audiensi dan jajak pendapat dengan para relawan yang ada di Arab Saudi, " tandasnya.
Rasa rindu bertahun-tahun ia pendam demi sebuah cita-cita, pilu dan tangis ia simpan demi menggapai asa, namun lara tak kunjung reda karena sang majikan durjana tak mau memulangkan mereka. Pada siapa mereka harus mengadu, pemerintah yang selama ini diharapkan sebagai pelindung, seolah menutup mata dan mermehkan kasus seperti ini.
Hari sabtu kemarin (8/11) Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri dengan bangga mengeluarkan statement di media sosial bahwa dirinya akan memperbaiki dan meningkatkan kualitas para Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Hanif juga mengatakan akan mencontoh Filipina tentang pengelolaan tenaga kerja yang akan meningkatkan daya saing para tenaga kerja itu sendiri.
Namun sayang, pernyataan Menteri Tenaga Kerja yang baru dilantik itu kurang menyentuh esensi problematika yang terjadi di Arab Saudi. Pemerintah hanya memikirkan peningkatan dan kualitas dari segi pekerja, namun tidak menyentuh substansi dari perlindungan itu sendiri.
Perwakilan Pemerintah yang ada di Arab Saudi seolah membentur cadas jika sudah berhadapan warga Pribumi, mereka hanya menerima aduan dari TKI dan hanya berucap sabar,sabar dan sabar. KBRI/KJRI hanya bisa bekerja sesuai PROTAP ( Prosedur Tetap ) yaitu dengan menerima aduan, melaporkan ke atasan dan menasehati pelapor untuk bersabar. tetapi tidak melakukan terobosan untuk menyelamatkan anak bangsa yang bertahun-tahun terkurung dan tertindas.
Seperti halnya kasus Iroh binti Nenjin, TKW asal Karawang, Jawa Barat yang selama sembilan tahun bekerja di daerah Damman, Riyadh, tidak sepeserpun merima gajih dan tidak dipulangkan. Kasus Iroh binti Nenjin sudah dilaporkan ke KBRI Riyadh pada bulan januari 2014 lalu, namun ketika setiap minggu dan bulan ditanyakan perkembangan penangananya, KBRI hanya menjawab sudah mengirim surat ke Imigrasi Saudi dan melaporkan ke atasanya yaitu KEMENLU ( Kementrian Luar Negeri ). Sunnguh Ironis, sampai saat ini kasus Iroh binti Nenjin sudah hampir setahun ditangani KBRI tak mebuahkan hasil.
Muhammad Roland salah satu pengamat sosial di Jeddah, sangat menyayangkan kinerja KBRI/KJRI yang pasif dalam menagani masalah klasik perlindungan TKI di Arab Saudi dalam menghadapi kultural warga pribumi.
"seharusnya KBRI/KJRI membentuk tim khusus unit reaksi cepat yang sudak terkoordinasi dengan pihak otoritas keamanan Arab Saudi, sehingga ketika ada laporan TKI yang tidak dibayar gajih/tidak dipulangkan atau dianiaya, staf KBRI/KJRI bisa mendatangi rumah majikan dan memberikan advokasi, " kata Roland kepada Liputan BMI via seluler (10/11)..
Masih kata Roland, jika pemerintah Indonesia ingin meniru Pemerintah Filipina, jangan hanya mencontoh pengelolaan dan perekrutan tenaga kerja saja, tapi harus melihat bagaimana kekuatan diplomat-diplomat Filipina yang handal dalam bernegosiasi dan melobi otoritas Arab Saudi, sehingga mereka sukses melindungi warganya.
"Saya rasa Pak Hanif selaku Menteri Tenaga Kerja kurang memahami permasalahan yang sedemikian kompleks yang ada di Arab Saudi, saya harap beliau datang ke Arab Saudi untuk melaukan audiensi dan jajak pendapat dengan para relawan yang ada di Arab Saudi, " tandasnya.