Kuharkati
butiran tasbih dengan aksara-aksara cinta dan kasih yang mengalir di surautua
Tempat Ibu Bapakku mengajariku bertakbir sehabis kering kuning dibasuh sungai
bening di matanya.
Huruf-huruf
senja memanggil-manggilku untuk segera bergegas dari ambisi hati nurani meraup
rizki dan lekas merampungkan tugas-tugas sang majikan yang miskin cinta kasih.
Aku terlampau kesal dan sedih dengan suara sumbang yang menampar-nampar ulu
hati.
Sebab aku
tahu, suara syahdu yang bersulingdi telingaku kini di tanah para raja adalah
suaramu ibu, suara rindu yang menggetarkanjiwa dan raga, bahkan menetaskan mega
di tanah ladang tempat bapak menanam nafas dan darah, tempat aku bermain
belalang di semak ilalang. Ladang luas yang mengandung nasib dan takdir Tuhan,
seluas rezkimu untukku.
Tiba-tiba,
sukmaku lepas landas ke alam lain nun jauh dari tempatku berdiri mempertahankan
hidup, bersuka-duka mengukir jalannya nasib dan entah langit lapis yang ke
berapa aku hilang mengejar sepasang bayang ibu-bapakku, dalam lilitan cahaya
yang kian runcing menggiring wirit di jentik jemari menghitung waktu yang silam
dan kelam. Sungguh, tak sekelebat aura terang cahaya takdir Ilahi kutepis.
Kecualiseluet sinar mata ibu dan bapak di tanah kelahiran yang ditunjukkan sang
guru Alif-ba-ta-ku.
Kini, aku
merasa ada yang hadir dalam siang dan malam-malamku di pangkuan sang majikan.
Dialah rindu yang bukan sekedar hati berhasrat,
tak terbatas sepanjang nafas dalam dada. Rindu sedahsyat kerinduanImam
Burda memanggil kekasihnya,sedahsyat denyut nadiku menggetarkan namamu dalam
do’a.
Tetapi ibu,
aku masih bernyanyi mendengdangkan lagu gamang matahari, meski rumahku rapuh di
tengah bisingnyakeangkuhan. Bahkan aku masih bertahan meski tenggorokan
sekarat, sebilah bibir pecah luka meretaskan darah. Dan aku alam terus bernanyi
seperti burung tetap berkicaudi sarang sutra dalam kawat. Sekedar menarikan
kecongkakan hati sambil terbahak menertawakan kekalahan diri yang hanya tinggal
purna kecil tanpa arti di mata para dewa harta.
Karya : Istiara Sekar Penggalih